Muslimspot.com

Senin, 14 Maret 2011

Garis Besar Pendapat-Pendapat At-Thufi


Muhammad Roy, MA.

Di dalam membangun konsep maslahah. At-Tufi banyak mengemukakan kasus, baik berkaitan dengan aqidah, akhlak maupun fiqih yang diselesaikan melaui maslahah dengan tidak mempertimbangkan nas, ijma’ maupun qiyas. Misalnya:
a.       Sesungguhnya telah terjadi nas-nas dalam hadis yang ditentang oleh maslahah. At-tufi merujuk pada pendapat ibnu mas’ud yang bertentangan dengan nas dan ijma’ dalam hal tayamum karena kemaslahatan. Menurut nas dan ijma’ sahabat, bahwa tayamum boleh dilaksanakan karena sakit dan ketiadaan air. Ibnu berpendapat bahwa orang sakit tidak boleh bertayamum, sebab jika diperbolehkan dikhwatirkan ada orang yang hanya sedikit dingin saja telah bertayamum, tidak meu berwudu. Ketika dingatkan akan ayat[1] dan hadis[2] tentang perintah tayamum, ibnu mas’ud tidak mau menerimanya. Dalam perkembangannya pendapat ibnu mas’ud tersiar luas dimasyarakat dan tak ada seorang pun yang menginginkannya.
b.      Diriwayatkan dalam sebuah hadist,[3] ketika Rasulullah pulang daripeperangan ahzab , kemudaian beliau bermaksud mengadakan genjatan senjata, maka Allah memerintahkan untuk segera menyusun di Bani Quraidah. Kemudian Rasulullah memerintahkan sebagian sahabatnya untuk segera kesana, seraya bersabda: “janganlah kalian salat Asar sebelum tiba di perkampungan Bani Quraidah”. Ternyata ada salah seorang sahabat yang tidak mengindahkan sabda Rasulullah dengan melaksanakan salat Asar sebelum sampai disana. Menurut pendapat at-Tufi para sahabat yang menyalahi perintah Nabi untuk tidak melaksanakan salat Asar kecuali diperkampungan Bani Quraidah juga atas dasar maslahah.[4]
c.       Ketika Rasulullah mengutus Abu Bakar untuk menyampaikan kepada masyarakat, hadist yang berbunyi:[5]
(man qaala laailaaha illa Allah dakhala al-jannah)
            “barang siapa mengucapkan laailaaha illa Allah, maka masuk surga”
Sahabat umar melarang untuk menyampaikan pada khalayak atas dasar kemaslahatan. Alasan umar ra-demikian, kata at-Tufi- jika hadist itu disampaikan pada masyarakat, maka dikhawatirkan menyebabkan mereka malas beramal karena hanya mengamalkan hadist tersebut.[6]
d.      Ada seseorang masuk masjid (tanpa mengindahkan kesucian) langsung melaksanakan salat, maka para sahabat langsung heran atas perbuatan orang tersebut. Kemudian Rasulullah lang memerintahkan kepada Abu bakar untuk membunuhnya, keduanya tidak melaksanakan perintah Nabi, seraya bertanya kepada Nabi: “Bagaimana kami akan membunuhnya sementara ia melaksanakan salat?” menurut pendapat at-Tufi yang demikian itu adalah memelihara maslahat.[7]
e.       Pada suatu hari di Hudaibiyah (perang Hudaibiyah) Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk bertahallaul sebelum selesai ibadah hajinya. Para sahabat menolaknya seraya lantaran belum selesai ibadah haji. Kemudian Rasulullah tersinggung seraya berkata: “tiada aku perintah sesuatu kecuali tidak mau melaksanakannya”. Penolakan para sahabat ini, kata at-Tufi adalah dalam rangka memelihara maslahah.[8]
Ketika Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat agar hajinya dijadikan (dicukupkan) umrah saja. Mereka menolak seraya menjawab, “Bagaimana mungkin kami telah menamakannya (berbuat)” haji. Penolakan semacam ini adalah Dalam rangka memelihata maslahat.[9]

f.       Sabda Rasulullah kepada Aisyah: “Seandainya masyarakat belum memperbahrui janji mereka masuk Islam tentu saja aku akan merobohkan ka’bah”. Kemudian aku dirikan kembali diatas pondasi Nabi Ibrahim. Hal demikian menunjukkan bahwa yang wajib adalah mendirikan Ka’bah diatas pondais Nabi Ibrahim tidak dilaksanakannya pembongkaran Ka’bah adalah karena maslahat umat.[10]
g.      Hadis yang berbunyi[11] (ummatii laa tajtami’u ‘laa dlolaalah)  “umatku tidak akan bersepakat akan kesesatan”
Menurut at-Tufi kata ummah meliputi seluruh golongan, yang dalam hadis disebutkan 73 golongan.[12] Dalam pada itu, kesepakatan umat di sini meliputi semua golongan tak terkecuali. kesepakatan mereka menjadi hujjah syar’iyyah yang wajib diikuti. Dulu, memang kesepakatan mereka terbatas pada masalah teologi, tetapi persoalan itu terus berkembang. Karena itu tiada persoalan, bila ijma’ mereka pada masalah-masalah yang berkembanga tetap menjadi sumber hukum.[13]
h.      Bagi orang kaya, ketentuan membayar kafarat  dalam hal saumi melakukan hubungan seksual dengan istrinya pada siang hari bulan ramadan, harus ditentukan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh memilih yang lain berupa memberikan makan  pada fakir-miskin atau memerdekakan budak. Sesungguhnya kafarat itu dimaksudkan sebagai hukuman agar yang berbuat itu tidak mengulangi perbuatannya. Tiada artinya bila si kaya memilih memberikan makan atau memerdekakan budak lantaran ia kaya, karena itu ia tidak akan mampu mengendalikan nafsu seksualnya. Satu-satunya hal agar ia merasa dihukum adalah melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Ketentuan ini adalah semata-mata memelihara kemaslahatan. Tetepi at-Tufi tidak menyetujuinya karena dinilai meninggalkan nas[14]. Kalauorang kaya bolehmeilih , maka terjadiperunahan ukum oleh akal, hal ini tidak dapat dibenarkan.[15]
i.        Posisi at-Tufi dalam masalah iman dan kufur lebih  memilih mazhab yang berpendapat bahwa keimanan seseorang itu cukup dengan membenarkan dalam hati (at-tasdiq) tidak perlu mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan perbuatan.[16] Sebab, hakikatnya kufur adalah orang yang memengingkari hal-hal yang telah ditetapkan oleh agama secara pasti (kaunuhu minaddin daruratan). Persoalan-persoalan diluar itu tidak bisa dijadikan kriteria iman dan kufurnya seseorang. Dengan demikian kufur itu kebalikan dari iman, sedangkan iman adalah tasdyq adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab, para utusan-Nya dan kebenaran hari akhir.[17]
j.        Dalam masalah dimensi hukum islam, at-tufi berpendapat bahwa hukum islam itu dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
1)      Hukum yang bersifat qat’i misalnya atentang kepercayaan kepada allah, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, kewajiban salat lima waktu, meliputi rukun islam dan hukum yang bersifat mahdah lainnya.
2)      Hukum yang bersifat ijtihad,  seperti hukum-hukum furu’, mulai hukum taharah sampai dengan hukum-hukum yang menyangkut masalah-masalah lain yang berkaitan dengan masalah usul.
3)      Hukum yang berdiri di atas keduanya (al-Wasiat), belum jelas antara qat’i dan ijtihad, seperti masalah-masalah yang diperselisihkan berbagai mazhab: Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Hanabilah, di antaranya masalah kemakhlukan al-Qur’an, satrah (arah), ayat-ayat tentang sifat Allah, masalah taqdir dan sebagainya.
Ditegaskan oleh at-Tufi bahwa pembagian yang demikian ini adalah berdasarkan penelitian rasional (al-‘aqal).  Karena itu bisa jadi satu mazhab memandang qat’i, sementara mazhab lain memandang ijtihad (zanni).[18]
k.      At-Tufi berpendapat bahwa hukum ibadah itu merupakan hak Allah, manusia hanya melaksanakan ibadah itu sesuai petunjuk-Nya yang telah ditetapkan.[19] Dalam pada itu dalil yang berkaitan dengan ibadah tidak perlu dirubah. Berbeda dengan dalil Syara’ yang berkaitan dengan muamalah dan yang sejenis. Efektifitasnya sebagai sarana aktifitas dapat diukur oleh akal manusia. Atas dasar itu  pada kondisi ruang dan waktu tertentu, apabila sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakann perubahan, sehingga tujuan Syari’ah tetap tercapai, yaitu maslahah manusia.
At-Tufi membedakan syari’at menjadi ibadat, muqaddarat dan muamalat. Ia memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah muamalah, penentuan boleh tidaknya sesuatu, ditekankan pada maslahah dengan mempertimbangakan unsur-unsur darurat, Illat, ‘adat dan syarat karena situasi tertentu. Sedangkan masalah ibadat dan muqaddarat ditentukan berdasarkan nas dan ijma’.[20] Demikian sebagian pendapat-pendapat at-Tufi yang diungkap dalam bab II ini sebagai sampel. Pendapat-pendapat yang lainnya akan diungkapkan pada kasus-kasus yang ada pada bab-bab berikutnya.


[1] Q.s. al-maidah/5:6.
[2] Banyak hadis yang memperbolehkan tayamum karena ketidak adaan air. Lihat al-Bukhari, Matan Bukhari, jilid 1, (Surabaya: Ahmad Ibnu Nabhan, t.th.), hlm 70 bab “iza lam yazid maan wala turaban”.
[3] Ibid., hlm.73 Bab salat.
[4] At-Tufi, At Ta’yin fi Syarhi al-Arba’in An-Nawawi; bi Tahqiq, Ahmad Haji Muhammad Usman (Makkah, Al maktabah Al Makiyah), 1998, hlm 258.
[5] As-Suyuti, Al-Jamius Sahir, Fi Ahadi al-Basyir an-Nazir, (Kairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1967), hlm. 310. Hadist al-Bazar dari Abu Said ini dinilai sahih.
[6] Husen Hamid Hasein, Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Baerut: Dar An-Nahdah, Al-Arabi, 1997), hlm. 547.
[7] Ibid.
[8] At-tufi, at-Ta’yin, (Makkah: al-Maktabah, 1998), hlm. 264.
[9] Ibid., hlm. 268. Husain Hamid, Nazariyah, hlm. 547.
[10] Ibid., hlm. 268.
[11] HR. Al Ahkam, Al Mustadrak, jilid 1, hlm. 15 dari Ibnu Umar.
[12] HR. Abu Daud Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Gurairah. At-Tirmizi menyatakan hadis hasan sahih.
[13] At-Tufi, At-Ta’yin. Hlm. 255.
[14] Berdasarkan hadis Hr. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah: Mustafa al-Hin dan Mustafa al-Bagi, al Figh al Manhaji, jilid 2, (Damsik: Darul Qalam, 1987) hlm. 96-97.
[15] At-Tufi, Syarah Mukhatsar Raudah, jilid, 3, Tahqiq Abdullah Al-Muhsin at-Turki (Baerut: Ar-Risalah, 1998), hlm 206.
[16] Berbeda dengan ahli as-Sunnah yang berpendapat iman itu tasdyq bi al-qalby, qaulun bi al-lisan dan ‘amalun bi al-arkan.
[17] At-tufi, Al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahis al-Usuliyah, jilid 1, Tahqiq Abu Asim Hasan ibn Abbas ibn Qutub, (Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2002), hlm. 40.
[18] Ibid. hlm. 38.
[19] At-Tufi, at-Ta’yin, hlm. 274-277.
[20] Ibid. hlm. 21. lihat juga, hlm. 274-277.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar